Dec 8, 2004

On Being Me.

Semalam aku tersentak ngeliat blognya mas Wisa.
Bukan karena dia mau nutup blognya.
Bukan karena shoutbox nya dia selalu jadi tempat nangkring dan nongkrong jutaan bloggers.

Tapi sedikit banyak tentang komentar dia tentang blog gue, dan blog orang-orang lain.

Mas Wisa udah berbuat apa yang selama ini masih jarang aku kerjain: nguwongke wong. Memanusiakan manusia. To humanize human beings. Dengan cara yang terbuka dan jujur, sesuai dengan kapasitas orang-orang yang disebut tersebut, to some extent until making some people blush with gladness.
Dan semua dilakukan dengan cara yang apa adanya selayaknya seorang manusia yang kebetulan berdarah Jawa.

Aha! Menjadi seorang Jawa.

Aku sendiri lahir tumbuh besar dilingkungan Jawa, walaupun penampakan fisik lebih diwarisi dari sisi bapak yang bukan Jawa. Dari kota dimana interaksi harian menggunakan bahasa Jawa yang banyak orang bilang "kasar!" itu, aku bermain, belajar, ngobrol, misuh-misuh pun pake bahasa Jawa! Ah, siapa sih yang ngga pernah misuh meskipun dalam hati? :)
Ibu ku pun berasal dari satu kota di Jawa Tengah yang terkenal dengan kehalusan tata-krama, yang tentu aja berusaha diwariskan ke anak-anaknya dengan cara-cara halus, termasuk persiapan diri kala Lebaran mudik ke kota ini, bertingkah laku teramat hati-hati dengan sanak saudara yang laen.
Sebatas itukah ke-Jawa-an saya?
Sayangnya, iya.

Sampai akhirnya pernah dikala kuliah dulu aku belajar Modern Indonesian Literature, salah satu buku yang beruntung aku dapatkan adalah Para Priyayi-nya Umar Kayam.
Deg!
Buku ini berhasil membuat gue tercengang dan malu, sebagai orang yang ngakunya wong Jowo, tapi dalam tindak-tanduk, kelakuan dan proses pemikiran ngga mencerminkan kebaikan sifat-sifat ke-Jawa-an ini. Dengan bahasa yang indah, mudah dicerna dan mengalir bak riak sungai yang tenang, Umar Kayam membuka mataku tentang kekuatan seorang Jawa menghadapi hidup yang selalu berubah di sekelilingnya, namun dengan ketenangan yang diterjemahkan sebagai kekuatan diri menghadapi segala sesuatunya dengan pasrah dan nrimo namun mampu menempatkan diri di alam dunia ini lah yang membuat gue cuman menunduk, mempertanyakan ke-Jawa-an gue.

Tuh liat, udah mulai "gue" lagi :) Duh makasih deh buat para penggebrak sistem 'global-village-concept' dimana semua orang udah ga punya identification on distinctive culture yah, ngomong Jowo koq ono' gue-elo! :p

Dan tentang kehilangan identitas ini juga yang gue rasakan ama
jeng lincah belakangan ini, yang nick chat-nya selalu ber"wanita jawa". Jadi inget, Anggun si penyanyi kita pernah bilang ke suatu majalah, "I'm proud to be a Javanese woman, she's the utmost kind of woman above all kinds."
Diskusi gue ama Imesh tentang wanita Jawa selalu berkisar pada suatu rumusan kalo wanita Jawa berarti wanita penyabar yang dengan segala kelemahlembutannya mampu meluluhlantakkan egoisme pria-pria, mampu mempengaruhi keputusan penting yang diambil oleh siapa pun, dengan segala kewanitaannya, dia menunjukkan sosok diri yang mandiri, kuat menghadapi naek turunnya hidup.

Berat!

Aku lihat ibuku sendiri, ibu rumah tangga yang juga punya usaha kecil-kecilan, pintar, ngga kenal kata capek, pulang pergi dari satu propinsi ke propinsi laen bisa dalam seminggu, tapi tetep merhatiin anak-anaknya dengan baek, ngajarin semua yang perlu diajarin, seorang pengemudi yang baik dan sangat cepat, hahahaha, seorang yang menekankan perlunya sekolah bener dan rajin beribadah, seorang partner buat bapakku yang setia dan sayang.

Bundaku. Meskipun logat Jawa nya tak sehalus kala dia tinggal bersama almarhum nenek dulu karena kelamaan gedein kita semua, tapi dia seorang wanita Jawa yang aku kagumi.
Kalo baca ini Mam, kacang pedes yang terakhir enak, soalnya lebih garing :)

Seperti semua tulisanku yang menggantung dan tak pernah terselesaikan, begitulah kali ini.
Aku tetep seorang pria Jawa yang berusaha menggali dan mendalami sisi ke-Jawa-anku.
Cay, Onel, matur nuwun udah jadi sparing partner ngomong Jowo tiap hari di rumah, bikin rumah kita serasa di tanah air beneran.

-- maunya nulis diiringi gending Jawa, tapi adanya cuman Carole King yang 'Will You Love Me Tomorrow', yo wis lah, daripada ga ada :) --

16 comments:

Wisa said...

ah Nopal gitu deh.. aku justru pengen spt kalian yg pada pintar2 nulis.. selalu ketemu kata2 yg cerdas dan bijak.. sedang aku susah banget nulis separagraf aja.. kita itu emang sering suka merasa diri kita kurang ya. tapi mungkin perasaan itu ada baiknya, dg begitu kita selalu merasa terpacu utk lebih baik dan menghargai apa yg telah orang lain lakukan. yg penting tidak dilandasi rasa iri.. kalau orang jawa bilang "sawang sinawang" atau "saling melihat" biar tetap selalu sadar diri dan tidak sombong..

tuh kan aku kehabisan ide mau nulis apa.. tapi yg jelas I love you Val.. :)

dodY said...

val... makin dicari trus makin ngerasa banyak kurangnya! hehehe... bagaimana pun juga gw mesti bowing kepada dirimu.. secara loe lebih jawa ketimbang gw gituh yah? hehehe.. penting ngga seh? i learn something today... being myself has never been so good like today! ternyata bersyukur atas segala yg saya miliki saat ini (dgn sejuta kekurangan yg tiada habisnya itu) bisa lebih melegakan hati ketimbang harus mencari "kesempurnaan2" dlm definisi yg pada ngga jelas itu! jadi val... i'm so grateful akan dirimu yg selalu memberikan semangat dan inspirasi itu!

Nauval Yazid said...

mas Wisa,
kalo kamu ngga bisa nulis satu paragraf pun, ngga bakal ada nikiwisa blog yang udah nyaris mencapai tahap legendaris itu, ya ngga?
semakin sering blog walking, semakin sering juga kita belajar, nyari tau apa yang pas buat kita, gaya nulis yang sesuai ama kita, dan gue rasa proses kaya gini bakal berjalan terus-terusan, people change after all, ya kan mas?

Dody,
my lil' bro, aku seneng ngeliat kamu belakangan banyak bersyukur despite your hectic schedule yah! :)

Anonymous said...

Ini dari Doel tuk Nouval: hehehe

Jadi orang Jawa itu susah menurut saya. Meski saya sudah lupa berbahasa jawa sejak kelas 1 SMP, tapi banyak budi pekerti kejawaan dari Ibu yang menetap sampai sekarang. Rasanya kangen mendengar orang ngomong Jawa. Contoh gampangnya, saya masih suka menjulurkan tangan dan membungkuk permisi kalau lewat melintasi orang yang berbicara. Otomatis. Jadi rindu sama teman-teman saya yang orang Malang, Semarang, Yogya, Solo, Blitar, Purwokerto dll. dll. Mereka lucu2, karena kalau sudah misuh2, semua perbendaharaan kata-kata lucu keluar.

Anonymous said...

VAL,
aku orang jawa yg besar di jawa juga, hanya kuliah di tanah sunda.

kalau lama nggak pulang kampung, aku kangen dengan suasana jawa, guyon2nya dan obrolannya. karena kuliah di bdg, otomatis keseharian aku ngomong pake bhs indonesia, ataupun bhs jawa pakai bhs jawa yg ngoko, yg kasar.

makanya, aku agak2 kagok kalo ngomong pake bhs jawa halus lagi. dan kalau mendengar percakapan pake bhs jawa halus ini, aku seperti mendengar lagu yang indah, yang sudah lama sekali aku ingin dengarkan...

nice posting:)

Mel said...

Hmm Pal..jadi ngingetin aku ke karib aku di Singapore ini yang curiganya bakal jadi Calon Besan juga.:)
Dia ini juga menganut aliran Cinta Jawa (apa sih?) soalnya walaupun tinggal di negara orang tapi anak2nya cuma diajak berbahasa jawa halus di rumah. Bapaknya ngajak ngomong Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris? Mereka gak care, itu urusan sekolahan ntar katanya hehehehe
Padahal keduanya sarjana teknik dari UI yang sama2 mahir berbahasa Inggris. Tapi lebih gak mau kehilangan akar-nya.

Salut buat elo juga Pal..elo juga jelas2 ada 'usaha' untuk preserve akar elo.

Gue? *sigh*
Suami gue yang orang Palembang gak mengijinkan gue untuk pake Bahasa Sunda buat anak2. Dia selalu ngotot kalau anak2nya adalah orang Palembang.
Salah satu bentuk Rasis-nya orang Indonesia :)
Mungkin ini yang bikin orang dulu gak sukanya kalau anaknya kawin sama orang yang lain suku ya?
Biar gak puyeng kali. Perkawinan aja udah berat apalagi harus ditambah dengan perbedaan culture.

Seperti biasa Pal..komen gue gak nyambung. Ujung2nya gue ngejeplak sendiri. Hehehehe. Punten ah!

Nauval Yazid said...

Doel,
kita dulu anak-anak bentukan Ibu kita, bentukan dari lahir sampe gede diasuh dia, pastinya banyak sifat2 dia yang melekat ama kita, seperti yang mas Doel bilang, kadang2 aku juga suka bungkuk kalo mau numpang lewat sambil bilang "nuwun sewu" ato "permisi", tapi kalo vocabulary yang keluar, dah jelas pasti ibu yang ngajarin, bisa2 malah dijewer nanti! :D

Ria,
setuju banget, buat kita yang kebetulan tau dan bisa bahasa Jawa walopun dikit2 ini, dengerin bahasa Jawa alus kaya dengerin orang nembang, bikin ngerasa klangenan meskipun lagi ga kasmaran :)
aku juga kalo pulang kampung ketemu temen2 lama pake bahasa Jawa ngoko koq mbak, namanya juga bahasa "gaul", hahahaha, sekarang juga sedikit-sedikit pengen dilatih lagi, biar ntar ga kesannya sok bahasa Jawa tapi aksen Singlish! :)

Fina Thorpe-Willett said...

Gak cuma yang jawa yang boleh komen kan?
gue bukan jawa. tapi lahir dan tumbuh dan hingga tarikan napas saat ini gue berpijak di tanah jawa, yang kebetulan ibukota kita. iya, ini tetep pulau Jawa kan? meski sudah dikotak-kotakkan sedemikian rupa, kemanapun kita pergi di pulau ini, sgala ke-Jawa-an akan tetep ada.
mengingat akar. pada dasarnya kita selalu butuh untuk attach pada sesuatu. dan kembali ke dasar kadang membuat kita sdikit lega. bahwa ada tempat yang disebut 'rumah', yang bikin kita tenang mengingatnya bahwa kita adalah bagian dari itu. it could be also your origin, dan kali ini spesifik nya kesukuan itu.
selalu salut bahwa masih banyak orang yang memegang akarnya, tapi juga salut pada orang yang bisa lepas dari smuanya. bahwa dia benar2 bisa berdiri sendiri tanpa ada embel2 lainnya. dia adalah dia.
but in the end, since banyak temen gue jawa *kedipimesh* dan tetangga2 gue jawa, mantan co gue jawa, ke pasar nawar pake bahasa jawa, salute buat Jawa. it really such a nice thing to have, at least for some people. asal jangan jadi chauvinist aja yak!

kangen sama kamu, Pal..

Nauval Yazid said...

Mel,
begitulah namanya jaman sekarang, Mbak! anak global, makanya semua anaknya diajarin bahasa yang global juga.
Kaget juga masih ada keluarga temennya mbak Mel itu yg masih ngajar anak-anaknya bahasa asli mereka, biar mereka masih berasa identitas asli, ngga malu buat nunjukin jatidirinya. Duh hari gini ngomongin jati diri, mana jelas sih, gue aja sering diajak ngomong Mandarin loh ama orang sini, yang ada gue cuman bengong melongo, trus bilang "Sorry ah, I'm not Chinese", eh yang ada orangnya malah nyolot bilang, "Siao!" Iiihhh ... Ga penting! Hahahahhahaha ...

Nauval Yazid said...

Fina,
duh! kamu wanita Padang yang aku panggil "Jeng", lihatlah betapa Jawa-nya kita semua ini yah! hahahaha ..
komentarmu membuat aku berpikir, di jaman yang semuanya serba seragam ini, yang bikin kamu bilang "it's good to see someone being set free from any cultural restriction" itu, bikin aku bertanya, apa justru tipe orang seperti ini yang dibutuhin ama dunia sekarang, biar dia bisa masuk ke kebudayaan mana2 dan apa aja, sehingga dia bisa adaptasi cepet dan ga jadi chauvinist?
hmmm ... i can only wonder ...

simpan kangenmu itu buat dua pria mu sana dong ah! hahahahhaa!

Anonymous said...

hmmm... gue anak jakarta, lahir gede di sini. walaupun orang minang, tapi nilai2 yang ditanamin ortu gue itu udah nyampur dengan beragam nilai yang gue serap dari mana2, termasuk jawa.

ngomongin jawa, gue belajar budaya jawa secara dalam lebih banyak dari buku. sama kayak lo val, umar khayam adalah referensi utama gue. makanya waktu kantor gue dulu mau nerbitin gabungan kumpulan cerpen dan novel pendeknya buat mempertingati satu tahun wafatnya, gue seneng banget. cuman sedihnya pak umar udah meninggal, jadi gue cuman bisa diskusi sama istrinya.

bawuk, novelanya umar, buat gue adalah refleksi kejawaan yang kuat banget yang belakangan ngebantu gue memahami hubungan gue dengan orang jawa yang 'sangat' jawa. gue jadi jadi bisa memahami kenapa orang yang dipengaruhi budaya jawa kuat melakukan ini dan bukan itu.

tapi, teteup ya, being a person living in an age of shrinking world, jawa yang terlalu jawa dan nggak mau memahami ketidakjawaan orang yang bukan jawa, dan beradaptasi, duh, PDA getoh lho. seperti budaya lain, ada tradisi yang okeh dipelihara, ada yang nggak.

be proud of who you are, val.

rio, anak jakarta keturunan minang, yang sering kena pelet orang jawa:D.

Q said...

Kok aku gak pernah mempertanyakan hal ini ya? Mungkin meski aku tinggal di melting pot spt Jakarta, aku tetap dikelilingi orang2 jawa. Jadi gak pernah merasa kehilangan nuansa jawa, dan gak pernah merasa perlu untuk bertanya "Apakah aku masih cukup Jawa?"

Aku juga gak merasa terlalu jawa, dari sisi pandangan hidup lebih banyak dipengaruhi nilai2 Islam, bukan nilai2 tradisional jawa.

Waktu sekolah dan kuliah suka ikut eks-kul dan unit kegiatan karawitan, tapi tetep gak bisa bener2 menikmati lagu2 gending jawa. Cuma menikmati memainkannya saja, bukan mendengarkan.

Beberapa bulan lalu kenalan sama seorang jawa yang masih medok dan komentar "kok nggak keliatan jawanya?". duh masak sih? aku bingung, harus sedih atau bangga?

Aku sih paling setuju ama judulnya. Being Me. Ya, Being Me ajalah. Aku gak mau memasukkan diriku dalam suatu kotak dengan label tertentu. Just Being Me... :)

Nauval Yazid said...

Rio,
kamu tipikal anak Jakarta sekali gue rasa yah, tipikal anak urban yang lahir tumbuh besar dalam lingkungan yang udah kebentuk jadi melting pot, sehingga kalo pun kamu bilang "orang Minang", mungkin bakal sangat perlu diberi tanda kutip seperti ini, karena nilai-nilai yang elo punya udah mixture dari beragam kultur di sekeliling elo, I can't agree more with you on this.

Bawuk juga salah satu karya Umar Kayam yang gue kagumi banget, perjalanan hidup Bawuk dari kalangan ningrat terhomat sampai jadi istri seorang pemberontak bener-bener dipaparin dalam gaya yang straight forward, dan dari situlah pemahaman gue tentang wanita Jawa semakin kuat terbentuk. Elo pasti paham juga kalo justru dengan ke'tidaktahu'an Bawuk tentang pergerakan suaminya, dia bertahan hidup dan kuat menjalani hidup demi anak-anaknya.
Trenyuh gue baca karya itu.

Dan tentang elo yang kena pelet, ask yourself: bukannya elo yang ngasih hint-hint biar di pelet? :D

Nauval Yazid said...

Q,
hampir sama ama yang gue bilang buat Rio diatas, orang-orang di kota yang melting pot emang lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya.
dan disaat yang sama, kita bisa nemuin identitas kita sendiri yang udah lewat bentukan dan benturan dari gado-gado ini kan?
anyway, it was a nice thought of yours :)

ben said...

VAL, gue salah klik (gue kirim ke mail, coba !!!) hehehehe........
komen gue kaya gini aja deh :
Val, gue gak ngerti jawa itu seperti apa. Tapi yang gue tahu orang jawa itu kebanyakan mendem roso (tapi herannya kok mereka gak stress yach
???? hehehehe). Yang keluar dari mulut beda dengan apa yang pengen diucapkan dari lubuk hati. BERAT !!!!
Mendingan gak deh ! bisa stress gue ! hehehehe.....

Nauval Yazid said...

Ben,
ngga ngerti Jawa itu apa tapi ngerti "mendem roso" kaya gimana? Hahahaha, mungkin ini juga bentukan dari stereotype Jawa seperti yang digambarkan banyak orang, dan ada benernya juga, karena namanya aja sifat manusia, pasti emang udah keturunan dari dulu, dari jaman nenek moyang yang dibawa terus sampe sekarang.
Well, berat emang to be devoted whole-heartedly to a certain culture or religion ...

My Profile

My photo
Jakarta, Indonesia
A film festival manager. A writer. An avid moviegoer. An editor. An aspiring culinary fan. A man.